Sindrom Peter Pan atau Peter Pan syndrome merupakan kondisi psikologis di mana seorang pria dewasa bersikap seperti anak-anak. Ciri-ciri pengidap sindrom ini umumnya cenderung hanya ingin bersenang-senang, enggan melakukan komitmen jangka panjang seperti pernikahan.

Penggunaan istilah Sindrom Peter Pan pertama kali dikemukakan oleh seorang psikolog, Dan Kiley. Dia menulis buku berjudul The Peter Pan Syndrome: A Men Who Have Never Grown Up (Sindrom Peter Pan: Seorang Pria yang Tidak Pernah Tumbuh Dewasa).

Sindrom ini merupakan gambaran kondisi psikologi seorang pria dewasa yang tidak bisa menerima tanggung jawab, atau tidak siap melakukan komitmen. Biasanya terjadi pada pria berusia 20 tahun ke atas.

Menurut Ahmad Gimmy, seorang psikolog klinis di Universitas Padjajaran Bandung, Sindrom Peter Pan bukan termasuk ke dalam golongan penyakit mental (psikopatologi). Dia mengatakan, istilah ini hanya digunakan orang awam untuk memudahkan penggambaran karakter seseorang yang tidak bisa bertindak dewasa sesuai usianya.

Sindrom ini dapat dipengaruhi oleh pola asuh orang tua yang salah. Oran gtua yang terlalu protektif, membuat anak tidak bisa belajar mandiri dalam menghadapi masalah. Dilansir dari laman canal.ugr.es, Humbelina Robles Ortega, seorang profesor psikologi di Universitas Granada, Spanyol memberikan peringatan, bahwa pola asuh yang terlalu protektif bisa mengakibatkan anak mengalami sindrom Peter Pan.

Terbiasa dimanjakan sejak kecil membuat seseorang tidak bisa move on dari masa kanak-kanan dan remaja yang dirasa sangat menyenangkan. Sehingga mereka ingin terus berada di masa itu, di mana semua hal ditangani oleh orangtua dan dia bisa bersenang-senang sepuasnya.

Hal senada diungkapkan oleh Pustika Rucita, B.A., MPsi, seorang psikolog klinis dari Tiga Generasi. Dia menyatakan, faktor utama terjadinya sindrom ini ialah pola pengasuhan orangtua yang tidak tepat. Bahkan trauma atau kejadian buruk di masa lalu juga bisa menjadi pemicu.

Rucita juga mengatakan, pola asuh orangtua yang cenderung otoriter, terlalu memanjakan atau permisif yang membuat sindrom ini menjangkiti anak laki-laki saat ia berusia dewasa. Rucita juga menambahkan, selain pola asuh terlalu protektif, orang tua otoriter, yang selalu mengatur setiap hal kecil dalam hidup anak, akan membuat anak tidak bisa mandiri. Hal ini menyebabkan anak tumbuh dalam ketakutan, tidak memiliki rasa percaya diri, selalu merasa ragu pada kemampuannya sendiri.

Baik anak yang terlalu dimanjakan, atau dibesarkan secara otoriter, keduanya sama-sama kesulitan untuk belajar memikul tanggung jawab. Anak selalu dimanja, akan berpikir dia bisa mendapatkan apapun yang inginkan tanpa perlu bekerja keras. Sedangkan anak yang dibesarkan oleh orangtua yang terlalu mengatur, tidak akan bisa berjuang meraih keinginannya sendiri.

Jadilah orang tua lebih tegas, tidak memanjakan anak secara berlebihan. Selain itu, beri juga anak kebebasan untuk melakukan beberapa hal sesuai kemampuannya. Anak yang memiliki Peter Pan syndrome kelak akan mengalami masalah di tempat kerja dan pergaulan sosial saat dewasa. Karena itu, kita sebagai orang tua harus memastikan bahwa hal tersebut tidak terjadi.

NAUFAL RIDHWAN ALY

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *